Modernis.co, Malang – Indonesia adalah negara yang memiliki beragam budaya dengan segala kemajemukannya. Keberagaman tersebut meliputi tradisi, bahasa, agama, budaya, suku, dan juga ras. Masyarakat yang multibudaya ini sering terjadi gesekan ataupun konflik antar kelompok yang berdampak kepada keharmonisan dalam bernegara.
Menjadikan Islam sebagai dasar dari Indonesia maka akan sangat sulit untuk mewujudkannya, karena seperti yang kita tahu permasalahannya adalah Indonesia memiliki masyarakat dengan berbagai macam corak dan latar belakang yang berbeda-beda.
Sejarah mengingatkan kita kepada segelintir orang yang berusaha menjadikan Hukum Islam sebagai Hukum Positif di seluruh penjuru dunia seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, al-Maududi, abdul qadir ‘Audah, Taqiyyuddin an-nabhani, dan Abu Bakar Ba’asyr. Jadi, peristiwa perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah sesuatu yang baru, hal semacam itu telah terjadi sejak zaman dahulu.
Para ulama berbeda pendapat terkait masalah ini. Sebagian ulama mewajibkan agar hukum Islam menjadi dasar dari suatu negara, bahkan mereka tidak segan-segan mengkafirkan orang-orang yang enggan menjadikan hukum Islam sebagai dasar negara. Sebagian lainnya membolehkan jika suatu negara tidak berdasarkan Hukum Islam.
Perlu kita ketahui bahwa Indonesia bukanlah negara Agama dan juga bukan negara sekuler, melainkan negara yang berlandaskan pancasila. Sebab negara Agama itu menjadikan satu agama sebagai dasar dari negara. Di sisi lain negara sekuler adalah negara yang memisahkan agama dengan urusan politik.
Meskipun Islam tidak menjadi dasar dari bangsa ini akan tetapi pengaruh dari Islam itu sendiri sangat besar dalam membangun Indonesia. Sejarah mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh Islam yang menyebarkan Islam di tanah Indonesia seperti wali songo dan lain sebagainya, masyarakat Nahdlotul Ulama yang di pimpin oleh KH. Hasyim As’Ari dalam mengusir penjajah atau lebih dikenal dengan peristiwa Resolusi Jihad dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Islam yang memperjuangkan Indonesia.
Selain itu kita harus tahu bahwa pancasila adalah hasil dari buah pikir tokoh muslim. Jika kita menengok kebelakang untuk melihat sejarah yang mana pada waktu itu sila pertama adalah “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang kemudian ada beberapa pihak yang merasa keberatan dan akhirnya di hapus.
Pada awalnya, tepat pada tanggal 22 juni 1945 terbentuklah panitia kecil dengan beranggotakan sembilan orang untuk melaksanakan rapat dan menghasilkan rancangan “Pembukaan” Undang-undang dasar.
Mohammad Yamin menamainya dengan Piagam Jakarta, di dalam rapat tersebut terdapat dua golongan, pertama, golongan Nasionalis sekuler, dan yang kedua, golongan Nasionalis Islam. Kedua kelompok tersebut berdebat dengan teguh pendiriannya masing-masing.
Johannes Latuharhary tokoh dari maluku, khawatir jika tujuh kata tersebut di sah kan maka akan mengacaukan hukum adat, di sisi lain kepala kantor urusan Agama zaman pendudukan Jepang, Djayadiningrat, khawatir jika ketujuh kata itu akan menimbulkan fanatisme. Ki Bagus Hadi Kusumo, selaku tokoh Muhammadiyah, ingin frasa “Pemeluk-pemeluknya” dalam tujuh kata tersebut di hapus, namun Soekarno tetap mempertahankannya.
Piagam Jakarta pun di sahkan BPUPK menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 18 agustus 1945 sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Mohammad Hatta mengajak Teuku Mohammad Hasan untuk melobi ki Bagus Hadikusmo dan juga Wahid Hasyim. Selain itu hadir pula Kasman Singodimedjo yang di utus Soekarno untuk melobi Ki Bagus Hadiskusumo.
Singkat cerita, Ki Bagus pun luluh dan Wahid Hasyim mengusulkan agar redaksi sila pertama diubah menjadi ketuhanan yang maha esa. Akhirnya, di rapat PPKI hari itu, Undang-Undang Dasar di sahkan dan tujuh kata di sila pertama di coret dan diubah menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Hatta menyebutkan bahwa perubahan yang maha penting dalam menyatukan bangsa.
Dari sedikit sejarah diatas dapat kita ambil hikmah darinya, bahwa idiologi pancasila adalah kesepakatan cerdas para pendahulu kita, karena dengan hal ini, Indonesia terbebas dari perpecahan dan juga tetap menjadikan Islam sebagai rahmmatan lil’alamin.
Pancasila sebagai dasar negara yang sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di sisi lain model kekhilafahan mulai dari zaman Rosul sampia runtuhnya Dinasti Utsmani, juga memiliki model yang berbeda-beda. Mulai dari Rosul yang menunjuk langsung penggantinya, Utsman dan Ali yang di pilih dengan cara voting seperti halnya parlementer, serta kerajaan yang yang di pilih berdasarkan keturunan.
Dari sini penulis berhipotesis bahwa jika pancasila itu benar-benar di tegakkan (tidak hanya sebagai alat kekuasaan) dan kemudian tujuannya bisa tercapai, maka Pancasila dapat di kategorikan sebagai sistem Khilafah.
Oleh: Hasim Muzadid